Relish
're-lish
(transitive verb)
To enjoy or to take pleasure in (something)
Well, tulisan ini gue pikirkan saat di perjalanan pulang sehabis makan bubur ayam kesukaan di stasiun. Gue dateng saat penjualnya masih siap-siap, dan dilayani sebagai pembeli pertama dengan segala privilege-nya: bumbu kuning tambahan sebotol sirup penuh (ini yang paling penting!), kecap manis, segelas teh tawar hangat, dan tisu. Menganut paham bubur ayam aduk-kerupuk campur, gue pun makan bubur ayam dengan kerupuk yang sudah melembek terkena bubur dan bumbu dengan nikmat. Waktu itu belum jam 7 pagi, masih sepi banget, dan gue hanyalah satu-satunya pelanggan yang makan di tempat. Betapa… indahnya. Punya akses bebas ke privilege tersebut dengan mudah, tanpa harus oper sana-sini. Beberapa saat sebelum suapan terakhir, satu per satu pelanggan lain datang dan ikut meramaikan. Kebanyakan adalah keluarga dengan anak. Yang makan sendiri cuma gue dan satu orang bapak-bapak.
Kemudian saat gue mau naik motor untuk pulang, tiba-tiba sebuah perasaan hangat menyergap. Perasaan nikmat. Nikmat di sini selain merujuk kepada bubur ayam dan sate ati yang beneran enak itu, gue merasa nikmatnya…. kebebasan. Lalu gue meresapi perasaan tersebut.
Kebebasan?
Kebebasan macam apa?
Gue merasa di umur 21 menjelang 22 ini adalah saat-saat ketika gue sedang menjadi manusia seutuhnya. Utuh untuk diri gue sendiri. ‘Kungkungan’ dari orang tua semakin mengendur, sementara gue belum punya kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap seseorang, in a way saat seseorang sudah berkeluarga. Gue merasa inilah saatnya gue menjadi gue yang independen, bebas hidup sebagai diri gue sendiri, yaa walau dari segi finansial masih tertatih belajar mencari nafkah.
Jadi, kebebasan yang gue rasakan sepulang makan bubur ayam tadi adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri secara utuh.
Kenapa kebebasan?
Kebebasan menjadi isu yang penting buat gue karena dulu gue sulit mendapatkannya. Dulu, saat masih SMA dan awal kuliah, saat hormon pertumbuhan sedang menuju kematangan, saat eksposur sedikit terhadap sesuatu berbau travelling meningkatkan perasaan ingin jalan, jalan-jalan ke tempat jauh tanpa keluarga adalah sesuatu yang hampir mustahil. Kalaupun boleh, itu karena ada nama institusi di baliknya, seperti saat ke Semarang atas nama ikut Gathering KSE Nasional. Wanderlust gue terus terakumulasi sampai umur 20. Di saat itu gue mulai murka. Umur udah kepala dua masih belum boleh jalan jauh. Mau ke Jogja sama GengDufan pun nggak boleh. Huft. Lalu, entah mulai dari kapan, tali itu mengendur. Gue kalau mau jalan dan nginep, asal tujuannya jelas, diperbolehkan. Pulang malam lewat dari jam 11 pun tidak apa. Makin ke sini, diskusi mengenai detail per-nginep-an semakin memendek durasinya. Pesan dari mereka adalah, “Jaga diri.”
Lalu gue kembali ke titik sekarang. Kurang dari lima bulan menuju umur 22. Gue merasa utuh, bebas sebagai manusia yang bertanggung jawab. Terus gue berpikir lagi,
“Apakah gue terlambat dalam menyadari hal ini? Dalam memiliki kebebasan dan keutuhan ini? Apa temen-temen gue yang lain udah ngerasain ini sejak mereka masih duduk di bangku SMA?”
Namun, gue pun ingat bahwa individu itu unik. Oke. But I can’t help to compare hehe.
Lalu, terbersit pikiran bahwa kebebasan semacam ini hanya akan bertahan sampai sebelum gue lulus. Di saat itu, belitan tanggung jawab untuk segera berpenghasilan datang dan siap untuk mengikat. Tapi, berpikir positif, setelah berpenghasilan nanti, gue akan menjadi manusia yang independen secara finansial, walau bertambah lagi tanggung jawab terhadap keluarga. Lepas satu, datang satu. Tak apalah, memang sudah waktunya. Sudah saatnya.
Yang ada hanyalah ada. Yang ada di masa kini adalah masa kini. Masa lalu tak bisa diseret ke masa sekarang. Kalaupun bisa, ia sudah berganti nama menjadi kenangan. Ya, kira-kira itulah yang dikatakan Dee di novel KPBJ. Mungkin di semester ini gue gabut af, namun nanti di masa depan gue akan sibuk af dan akan rindu saat gabut af tapi tak bisa kembali karena masa itu sudah menjadi kenangan.
Nikmati tiap detik, resapi setiap momen.
Karena detik ini, momen ini tidak akan terulang.
YOLO.
YOLO.
Teras Rumah, 27 Maret 2016 7:50
Comments
Post a Comment