Detoksifikasi
DISCLAIMER
THIS IS A SUPER LATE POST. I POST IT HERE AFTER I SEARCHED FOR TREASURES (?) IN MY FOLDER.
Hidup sebagai mahasiswa di pusat
ibukota di tahun 2014 membuat lo hampir gak bisa lepas dari smartphone, entah
smartphone lo itu Android, iPhone, atau Blackberry. Kehadiran smartphone baru
gue sadari saat SMA, kalau gak salah pas gue kelas 11, di saat dimana
Blackberry lagi menjamur banget dan dimulai pada saat itu colokan menjadi
barang incaran karena BB pada saat itu baterenya bocor banget. Dan BBM
(BlackBerry Messenger) sedang hits banget pada saat itu. Sebar pin BB di
twitter, minta re-invite karena BBM-nya error, dan banyak hal lain yang
menunjukakan ke-hits-an BBM. Di saat euphoria BB itu, gue masih menggunakan HP
konvensional. Konvensional di sini maksudnya gak mendukung beberapa aplikasi
yang ada di handphone pintar sekarang, seperti instant messaging dan pembuka
dokumen. Waktu itu gue sudah bersyukur dengan HP gue, Sony Ericsson Cedar
J108i, karena fiturnya cukup mumpuni. Dan gue masih bisa survive dengan hp itu.
Survive maksudnya gue masih bisa mengikuti obrolan bersama temen-temen, info
terbaru di lingkaran pergaulan, dapet info mengenai hal akademis, gak
ketinggalan musik terbaru, dan lain-lain.
Seiring berjalannya waktu, hape
pintar gak cuma BB aja. Masuklah Android ke peredaran teman-teman gue. Banyak
yang sebelumnya menggunakan BB beralih ke Android dengan dalih batere lebih
awet daripada BB, bisa download aplikasi macem-macem, dan banyak dalih lainnya.
Merk HP Android yang hits banget pada saat itu adalah Samsung dengan berbagai
varian Galaxy-nya. Pada saat itu,
sekitar kelas 12, gue masih bertahan dengan HP Cedar gue. Gue masih bertahan
dengan dia karena gue merasa masih bisa survive, dan gak butuh-butuh amat,
walau udah ada beberapa cacat di casing belakangnya karena sering dipake buat
mainan truth or dare -_-.
Masuk
kuliah, akhir 2012, ternyata komunikasi gak hanya telepon, SMS, dan BBM aja. Ada
instant Messenger baru yang namanya WhatsApp. Sering disingkat jadi Watsap atau
we-a. Saat masuk kuliah, gue masih
menggunakan hp konvensional kesayangan gue. dan gue masih bisa survive.
Tengah
kuliah, gue mulai merasa butuh media informasi yang digunakan kebanyakan orang
pada saat itu, yaitu WhatsApp dan Line. Kenapa dua aplikasi itu? Karena untuk
membuat dua aplikasi tersebut bekerja, hanya dibutuhkan pulsa internet. Dan
makin ke sini, makin sedikit orang yang punya pulsa ‘konvensional’ untuk SMS
dan telepon. Dua aplikasi tersebut menyediakan dua fitur tersebut hanya dengan
mengandalkan paket internet. Satu alasan lagi adalah tarif untuk menggunakan
dua aplikasi tersebut sama untuk seluruh operator, tidak seperti SMS dan
telepon yang mematok harga berbeda untuk operasi ke operator yang berbeda. Alasan
lainnya adalah dua aplikasi itu membuat respon tujuan kita dapat bisa cepat
dibaca, lebih menarik dengan berbagai emoticon dan stiker, serta bisa
berkomunikasi dengan grup.
Berdasarkan hal tersebut,
orang-orang, termasuk teman-teman kuliah gue lebih menggunakan WhatsApp dan
Line untuk berkomunikasi, mengirim jarkom, serta bergosip dibandingkan dengan
media konvensional seperti SMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut pula, gue
memutuskan untuk membeli Android pertama gue pada 2013.
Android Samsung pertama gue itu
rusak sekitar setahun kemudian karena suatu peristiwa. Kemudian gue membeli hp
Android teranyar gue, Asus Zenfone 4, yang udah gue taksir sebelum HP Samsung
rusak.
Gue membeli Asus Zenfone pada Agustus 2014. Pertama kali memilikinya,
seneng banget. Karena bisa dapet HP dengan spesifikasi keren dengan harga yang
jauh di bawah hp sekelasnya dengan harga normal plus screen guard dan flip
cover. Waktu itu hp ini masih langka banget, jadi harganya di konter bisa lebih
mahal 300-500 ribuan. Mengeksplor tiap fiturnya, menggunakannya untuk hal
hiburan dan akademis, menikmati respon cepat dan tampilan smooth-nya membuat
gue senang menggunakan Asus Zenfone 4. Sampai saat ini, kalau disuruh naksir hp
lain, gue akan naksir hp-hp dengan kelas jauh di atasnya, seperti Galaxy S5.
Tapi kalau untuk naksir hp sekelasnya, gue gak bisa naksir ke hp lain.
Perhatian gue jatuh pada Asus Zenfone 4 itu.
Suatu
sore, beberapa minggu yang lalu, gue mengajak beberapa teman ke rumah gue. Dari
Depok kita naik motor rame-rame. Karena gak bawa jaket, dan hari itu mendung
tebal, gue meminjam jaket seorang teman, dan memasukkan hp gue ke dalam kantong
jaket seperti biasa. Saat sampai di rumah, dengan keadaan basah kuyub, kami
menghangatkan diri dulu. Gue sibuk mencarikan pakaian kering untuk
mereka pinjam. Sejenak gue lupa akan hp gue. Ketika selesai menjamu mereka, gue
baru
Gue mengirim SMS ke Mamah yang
berisi bahwa gue dan temen-temen udah OTW rumah. Mamah gue bales dengan, “Oke
hati2 ya.” Lalu gue memandang layar bernuansa hijau muda dan broken white itu
lalu menutup flip covernya dan memasukannya ke dalam kantong jaket.
Akhirnya sekarang gue hidup
dengan HP konvensional, Nokia X1-01 milik bapake yang sudah beralih ke Android.
Gue ingin menantang diri gue, apa
gue bisa survive dengan hp konvensional itu karena gue udah pernah menggunakan
hp yang tidak pintar-pintar amat dan gue bisa survive. Kemudian, gue merasa
bahwa gue sudah terlalu bergantung dengan WhatsApp. Tiap beberapa detik
nganggur, langsung pencet tombol lock di hp dan ngecek apa ada WA atau Line
atau hal lainnya yang bisa gue respon. Gue tau itu gak baik dan gue harus
menghentikannya. Ternyata Allah mendengarkan keluh kesah hambanya yang banyak
mau ini dan mengabulkannya dengan membuat hp gue tidak available di tangan ini
lagi.
Seminggu
pertama tanpa Android, hidup lancar-lancar aja. Walau sepi tanpa WA, Line, dan
Temple Run, dan Fruit Ninja, dan gak bisa checkin di Foursquare… gue
berkomunikasi dengan orang luar dengan SMS atau telepon atau Line saat online
menggunakan wifi kampus. Seminggu berikutnya, gue menemukan bahwa WhatsApp
punya fitur baru yang bisa membuat lo bisa mengetahui siapa saja yang udah
membaca chat lo di grup, dan kapan orang lain membaca chat lo. Kemudian…
beberapa hari yang lalu ada tim Line yang buka stand di FIB dan membagikan
merchandise Line dengan lucky draw. Ditambah lagi dengan agenda UAS yang
banyak, yang biasanya gue catet di kalender. . Trus juga gue gak tau info kelas
cancel karena infonya hanya di line aja. Huffff… Now i feel alone. I feel I
still need Android anyway :”) dan gue sadar kalo di saat ini, gue, dengan
komunitas seperti ini, gak bisa survive tanpa regular WA dan Line, karena
orang-orang di sekitar gue juga memakainya untuk berkomunikasi. Gue gak bisa
memaksa mereka untuk SMS-an atau teleponan jika butuh berkomunikasi dengan gue,
gue yang harus menyesuaikan diri dengan menyamakan media komunikasi…
Lalu
gue berkaca pada saat gue SMA, saat mau belajar kelompok dan kami masih bisa
belajar kelompok. Kami janjian tanpa chat WhatsApp, tanpa send location
Line… hanya dengan SMS. Ahh… entahlah.
true. bahkan gue sampe line da wa dari laptop pas hp ilang. kalau engga, nanti diomelin sama temen2 kelompok :( omg life...
ReplyDelete