#JapanTrip2018 Day 3: Mitake, Hinode, Tsuru-Tsuru Onsen


11 Oktober 2018

Setelah bangun siang lagi karena tepar akibat perjalanan kemarin, kami berangkat lagi agak siang. Tujuan kami hari ini adalah hiking! Yuhu! Ketika berangkat, gue cuma bawa daypack Arpenaz 10 liter dan Fia bawa drawstring bag-nya doang. Sisa bawaan lain dititipin di hostel sekalian checkout. Dengan perut gue yang sudah diisi semangat Indomie goreng, kami pun berangkat!

Stasiun transit pertama kami adalah Shinjuku. Anjir ya Shinjuku jam 9 pagi beda banget sama Shinjuku jam 11 malem haha. Pas pagi sepiii banget. Kami ke Stasiun Seibu-Shinjuku lagi, dan naik kereta menuju Stasiun Haijima. Di perjalanan dengan durasi sekitar 45 menit itu, gue dan Fia ketiduran karena masih ngantuk haha. Bangun-bangun udah sepi semua. Karena pas kami naik juga kereta sepi-sepi aja, gue kira masih di perjalanan, ternyata udah sampe Haijima lol. Kami bangun, langsung pindah jalur buat transit.

Shinjuku pagi
Menuju Nambo Haijima

Udara mulai mendingin karena cuacanya mendung. Hmm menarik. Gue cuma pake kaos polar, kemeja flanel, celana legging tebal, kaos kaki, dan sendal gunung. Di tas cuma bawa cemilan cokelat mint yang beli di CanDo dan air minum serta perintilan lain. Kereta menuju Ome datang. Dan keretanya lucu banget! Bertema hutan, jadi banyak gambar kartun binatang dan hutan-hutannya gitu. Kawaii. Keretanya juga beda dari kereta-kereta yang kami naikin sebelumnya, di deket pintu, ada tombol buat buka dan tutup pintu. Gue pernah lihat tombol kayak gitu di film 5 cm per Second.

yang dipencet ojii-san

Akhirnya sampai di Stasiun Ome. Stasiun kecil yang dikelilingi bukit dengan pucuk-pucuk pohon yang mulai menguning dan memerah. Indah banget. Di sana, kami melihat beberapa orang yang pakai pakaian hiking juga. Ada beberapa warlok paruh baya, dan ada sepasang gaijin kaukasian. Kereta kami masih agak lama datangnya, jadi foto-foto dulu haha.

Stasiun Ome



ootede haiking aq

Lalu kereta datang, kami naik ke kereta itu. Perjalanan antara Stasiun Ome dan Stasiun Mitake, breathtaking! Gunung yang dengan pinus yang tumbuh rapat, dikelilingi kabut yang berganti antara tebal dan tipis. Jadi semakin misterius.

Hanya sekitar 15 menit, kami sampai di Stasiun Mitake! Yokatta…
Dari sana, kami naik bus menuju titik awal pendakian. Si dua bule tadi, jalan kaki dong :O dan para ibu dan bapak paruh baya entah ke mana. Gue, Fia, dan segelintir penduduk asli naik ke bis, dan bis pun berjalan menuju Stasiun Kereta Gantung Mitakesan.

Perjalanan naik bus sebentar, kayaknya gak sampe sepuluh menit. Abis itu kami turun dan langsung disajikan tanjakan menuju titik awal pendakian hahaha. Mampossss. Di titik awal tersebut yang juga stasiun kereta gantung, sepiiii banget. Kalo gak salah cuma ada sekitar dua atau tiga orang aja. Sebenernya untuk menuju ¾ puncak bisa naik kereta gantung, tapi bayar 600 yen sekali jalan. Karena kami sobat hemat, kami memilih untuk jalan kaki lah haha. Di tempat itu, kami juga ambil peta pendakian dan gue mencari air mineral tapi gak ada. Akhirnya beli teh hijau kotak aja. Sebenernya agak laper sih, cari yang jual makanan nasi macem onigiri, tapi gak ada yang jual. Setelah pemanasan sebentar, kami pun memulai pendakian di jam 13.20.

Fia di satu-satunya toko makanan sebelum naik

Udara yang mendung bikin udara jadi dingin dan teduh. Tujuan pertama kita adalah Mitake Shrine. Kami berjalan ikutin jalan aspal dengan pohon pinus di kanan dan kiri. Uniknya, pohon-pohon itu dinomorin mundur. Jadi semakin naik, angka di pohon semakin kecil, dan itu jadi patokan kami biar semangat haha. Selama perjalanan, ada beberapa mobil yang naik dan turun. Karena di atas sana ada pemukiman penduduk dan ada beberapa toko.

Di jalanan yang berkabut itu, sesekali kami bertemu dengan orang-orang yang berjalan turun. Saling sapa, “Konnichiwa.” Karena kata Fia, itu untuk menguji apakah orang yang ditemuin beneran orang atau bukan wk. SATU-SATUNYA (gak deng dua) orang yang kami temuin naik adalah gaijin bule tadi! Yang jalan ngedahuluin kita haha. Gokil sih pada kuat banget.

Kira-kira kayak ginilah ke Mitake. Kabut banget cuii

Sesekali hujan gerimis berasa di wajah, entah gerimis beneran atau kabut haha. Kabutnya pun kadang tebel, kadang tipis. Tapi lebih banyak tebelnya sih. Gue udah siapin payung kalo-kalo ujan beneran.

Ada satu hal yang sederhana tapi bikin hati gue terharu banget. Jadi ada bekas tebangan pohon di pinggir jalan, di pinggir jalan itu kan ada pembatas jalan dari besi. Nah pohon itu bersinggungan dengan si pembatas. Biar pohonnya gak ‘luka’ karena kontak langsung dengan besi, di antara pohon dan besi dikasih busa. Man… I am soft. Segitunya mereka peduli, literally peduli, dengan makhluk hidup. Kayak, mereka gak menganggap pohon sebagai benda hidup yang cuma hidup, tapi sebagai makhluk hidup yang bisa bernapas, berbicara, serta beremosi juga seperti manusia.

Stop and stare

Jalan terus ke atas, waw, di tengah tebalnya kabut, mulai terlihat peradaban! Mulai terlihat rumah-rumah. Ternyata udah masuk kawasan pemukiman, dan salah satu mobil yang kami lihat tadi terparkir di sana. Meskipun namanya pemukiman, tapi tetap aja sepi banget. Kayaknya cuma 1-2 orang doang yang terlihat. Di sana juga terletak ujung stasiun kereta kabel yang dari bawah. Kami bertemu sepasang orang tua yang masih semangat jalan ke atas. Yooo, semangat, obasan ojisan! 

Akhirnya bertemu dengan deretan toko yang gue lihat di blog-blog orang.  Tapi saat kami ke sana sepi banget. Cuma beberapa yang buka. Dan gak ada konbini lol. Tapi di sana mahal cuyy, air mineral botol yang biasanya 90-an yen di konbini, di sana jadi 160 yen wooow.

Pertokoan warlok

Gak jauh dari pertokoan itu, alhamdulillah terlihat gerbang Mitake Shrine. Di depannya ada aliran air untuk cuci-cuci. Airnya seger banget! Fia malah minum air itu haha. Kami lanjut menaiki tangga ke gerbang di atas. Di balik gerbang, ada bangku panjang dan peta besar Mitake dan sekitarnya. Dan kalau mau ke puncak, harus naik tangga-tangga lagi ke atas. Huaaahhh… I can’t take it. Gue ngaso di salah satu bangku. Tapi Fia masih mau ke atas, yaudah gue tunggu di sana. Sambil nunggu Fia, gue duduk, atur napas, minum, dan makan cokelat-cokelat kecil yang jadi satu-satunya bekal haha. Eeeh tiba-tiba ada dua orang ibu dan dua anaknya, satu masih kecil digendong, satu lagi dituntun, dia pake jas hujan lucu banget. Tiba-tiba si anak kecil yang jalan nyapa gue, “Konnichiwa~” gue sapa balik lah dengan konnichiwa dan senyuman haha. Kawaii neeee. Kemudian, pasangan paruh baya yang tadi papasan dan lanjut ke atas, juga udah turun. Gak lama, Fia pun turun.
“Miss, tadi lu ditanyain bapak-bapak sama ibu-ibu tadi, katanya, ‘Mana temennya? Mati ya? Shina?” wkwkwkwk kzl, ingin berkata kasar tapi takut kualat lel.

Akhirnya sampeee!

Jebak aku dalam labirinmu

Autumn foliage

Kitorang keluar gerbang, membungkuk hormat, lalu turun. Eh di salah satu restoran, ternyata pasangan paruh baya itu makan di sana. Jalan terus turun, dan lanjut ke destinasi selanjutnya, Hinode. Banyak papan petunjuk jalan yang nunjukkin ke Hinode, jadi tinggal ikutin aja. Waktu itu udah jam 3 sore, sementara kita target jam 4 udah naik bus lol tidak mungkin. Yauda jadi kita jalan dipercepat, dan terbantu juga karena jalanannya menurun.

Pemukiman warga semakin menipis, berganti lagi jadi hutan pinus. Jalanannya juga gak aspal kayak menuju Hinode, tapi tanah langsung. Dan baiknya, petunjuk menuju Hinode juga banyak. Jadi gak takut nyasar.

Jalanannya sangat ramah, lurus, turunan, mendatar, sesekali tanjakan kecil. Bikin terlena. Yang bikin kami stay awake adalah, man, BENER-BENER GAK ADA ORANG LAGI SELAIN KAMI. Ngeri sih. Sadar waktu juga karena ini udah sore. Tapi perasaan itu masih kita tepis jauh-jauh dan jalan terus aja. Malah main Sadam-Sadaman kayak di film Petualangan Sherina haha.

Petualangan Sherina x Silent Hill x Slender Man

Bukan Aokigahara *X-Files SFX*

Kami pun sampai di persimpangan. Karena waktu udah semakin sore, kami gak lanjut ke Hinode, melainkan langsung ke tujuan akhir aja: Tsuru-Tsuru Onsen. Di papan petunjuk itu, katanya 3 kilometer lagi. Ah cincai lah kayaknya bentar, at least satu jam. Waktu itu udah jam 4. Kami jalan mengikuti papan petunjuk. Jalanannya menurun, dan di beberapa tempat, tanahnya kuning licin gitu. No, bukan kuning yang ‘gitu’ tapi kayak tanah liat haha.

Di persimpangan. Foto terakhir sebelum...

Jalan terus, jalan terus sambil ngobrol. Kami saling menyemangati, gak ngeluh, gak keluarin pikiran-pikiran pesimis, walaupun pada saat itu jujur aja di benak gue banyak banget pikiran yang nggak-nggak berseliweran, kayak, kalo sampe gelap gimana kita gak bawa senter, kalo tersesat gimana, dan pikiran-pikiran negatif lainnya. Hahaha kita sama-sama tau kalo kita mikir itu, tapi gak kita ungkapin sama sekali. Don’t let negative vibes around in this situation. Sebagai gantinya, gue terus-terusan berkata, “Seenggaknya kita terus turun ke bawah, semakin dekat ke tujuan walau pelan.” Fia pun demikian.

Di satu pengkolan, kami berhenti buat shalat. Pas shalat, gue bener-bener pasrah dan doa, “Ya Allah, semoga kami udah sampe bawah sebelum gelap. Mohon tunjukkan jalan yang tepat.” Hiks. Bener-bener di saat seperti itu, gue cuma mengandalkan kuasa Allah aja :”) dan sebenernya di tempat kita shalat, kedengeran suara deru. Kayak suara kendaraan atau air terjun. Dan kerennya lagi, di tengah hutan gitu, masih ada sinyal HP cuy! Gue masih bisa bales WA dan LINE haha.

Setelah Fia selesai shalat, kami langsung jalan cepet buat ke bawah. Gue mulai nyalain senter HP karena jalanan mulai remang kalau cuma ngandelin sinar matahari. Itu jam 5 lewat. Fia jalan duluan dan gue nyenterin dari belakang. Gak lama kemudian, walau terasa cukup lama sama kitorang, suara deru tadi semakin kedengeran, dan di bawah, jalanan aspal mulai terlihat. Peradaban! Dan ada rumah juga! Alhamdulillahirabbil alamiiinnn… ya Allah, pas udah liat jalanan dan rumah, gue udah merasa legaaaaaaaaaa banget. Seenggaknya kami udah keluar gunung. Kemungkinan terburuk, nyasar di hutan karena gelap, udah tereliminasi. Alhamdulillah…

Tapi, walau udah bertemu jalan aspal dan rumah-rumah, tetap aja sepi banget, gak ada orang sama sekali yang kita temuin. Fia yang kakinya sakit, berjalan pelan. Tapi gak apa-apa, seenggaknya kita terus berjalan.

Jalanan yang kita lewatin udah terdeteksi Google Maps, dan menurut GMaps, tinggal sedikit lagi  sampe ke ‘puncak’ untuk hari itu: onsen. Di jalan raya tempat onsen itu berada, masih sepi juga cuy. Padahal masih setengah enam sore. Ya udah gelap sih, tapi kan :”) beberapa meter sebelum onsen, ada parkiran mobil, dan ada beberapa mobil terparkir. Alhamdulillah rame.

Akhirnya sampe juga di Tsuru-Tsuru Onsen!!!!!!!!
Di depan, ada bus yang mengantarkan ke stasiun JR terdekat, dan cuma ada satu jam sekali. Tadinya ragu apa mau langsung pulang aja ya. Tapi kan udah sampe sini. Cus lah ke onsen!

Masuk ke sana dengan tampang capek dan dekil karena kami sempet jatuh di tanah licin haha. bayar tiket masuk, dapet kunci loker. Abis itu taruh sepatu penuh lumpur di loker, dan naik ke atas. Sampe di sana, ada dua tirai, biru dan merah. Merah buat perempuan, biru untuk laki-laki. Cuss masuk ke assigned place. Kami cari loker kami, masukin barang, menanggalkan pakaian, ambil handuk, dan masuk ke dalam onnnnsennnnn. *echo SFX*

Fia di ruang tunggu onsen. Seger abis berendem~

Di dalam sana gak begitu rame, kayak cuma 7 orang aja, dan warlok semua. Sesuai dengan etika sana, kami bilasan dulu di shower dengan bangku jongkok dan ember. Wah, kayaknya orang Jepang bener-bener nyeriusin mandi karena setiap momen mandi gue di sana tuh selalu menyegarkan hahaha. Abis mandi air hangat di sana, pegel-pegel hilang, badan jadi rileks, dan jadi ngantuk pengen tidur haha. Itu baru bilasan, belum berendam di kolamnya haha.

Setelah bersih bilasan, gue duluan yang masuk ke kolam. Awalnya berasa panas banget, tapi lama-lama jadi hangat yang menenangkan. Ughhh, go away, pegal-pegal! Selama berendam, kalau rambut lu panjang, harus dikuncir biar rambut rontoknya gak ‘mengotori’ kolam. Dan gak boleh pake apa-apa. Handuk kecil yang dibawa tadi, taruh di pinggir kolam aja.

Thoughts about nudity IRL, hmm, awalnya emang agak awkward sih, tapi pikiran gue mengenai nudity bener-bener berganti abis nonton Son of Saul dan baca Supernova. Badan fisik ini cuma sarana aja, the real nudity is deep inside the body, your soul. Anjay. Dan ‘asik’ juga sih melihat warlok pada bodo amat dengan badan orang lain. Gak ada body shaming-body shaming-an haha. Selain itu juga belajar embracing and loving your body. Huh, banyak yang bisa dipelajarin dari rendeman ini haha.

Gue naik, dan mau coba onsen outdoor di balik pintu sana. Pas ke sana, gak ada siapa-siapa hihi. Berasa private onsen. Temperatur airnya 40-41 derajat Celcius. Gue kira bakal panas melepuh, ternyata enggak, hangat. Fia pun masuk dan berendam di kolam sebelah gue. Terus kita ngobrolin tentang pengalaman hiking ternekat barusan hahaha. Di momen itu gue tau ternyata Fia juga punya pikiran yang nggak-nggak pas turun dari Hinode tadi, tapi gak dia ungkapin. Uwu.

Jam 7.15, gue naik karena mulai merasa pusing. Gue memutuskan buat udahan. Melihat warlok lain yang bilasan dikit abis berendam, gue ikutin. Bilas bentar, trus balik ke ruang loker buat pakai baju. Pas lihat kaca, wow muka gue merah banget hahaha. Di sana juga ada water tap air dingin. Enak banget buat dinginin badan yang overheat lel. 

Kelar beres-beres, kami siap untuk perjalanan panjang selanjutnya. Tapi sebelum itu, ada satu vending machine yang menarik perhatian we. Isinya susu dalam kemasan botol kaca. Isinya ada susu plain, susu rasa kopi, dan susu rasa nanas. Tadinya gue mau beli yang aman aja, kopi, tapi tanganku kok pencet susu nanas??! Menggelindinglah ia. Dingin. Segera gue buka bungkus plastiknya, membuka tutup botolnya, dan minum. Apa ini? Minuman surgakah? Wkwkwkw enak banget woi! Gak pernah kebayang susu dan nanas bakal kayak gini hahahaha. Mirip yoghurt karena ada rasa susu dan asam, tapi rasa nanas haha. Susu dalam botol langsung berpindah ke perut, dan gue langsung buang botolnya. SESUNGGUHNYA ITU ADALAH PERBUATAN YANG KUSESALI, tidak melihat label susunya karena beberapa saat kemudian – sampe sekarang sih – gue masih penasaran itu susu merek apa T_T karena gue cari-cari sampe sekarang, di Google pun, gak ada T_T best guess itu Meiji karena pernah lihat susu serupa di tempat lain, tapi gak ada yang rasa nanas huhu.

Kami pun turun, balikin kunci loker, ambil sepatu, dan langsung naik bus yang sudah menunggu. Busnya lucu, kayak rangkaian kereta dengan dua kereta. Kereta pertama lokomotifnya, tempat si supir, dan tempat penumpang di kereta kedua. Di dalam sana, ada mbak-mbak kenek, bahasa sininya mah, yang siap nerima uang dari penumpang yang turun. Sekitar beberapa menit, bus pun jalan ke Stasiun JR Musashi-Itsukaichi.

Sekitar 15 menit, kami sampai di Stasiun. Samui ceunah haha. Akhirnya nemu konbini! Fia beli onigiri, yang menjadi makanan pertamanya di hari itu. Abis gue top-up Suica, kami pun cus.

Sekitar satu jam kemudian, kami sampai di Stasiun JR Asakusabashi. Di sana, sudah menunggu Luluk yang menunggu kami dari jam 6-an :(((((((( kami sampe sekitar jam 9 haha. Kami balik cuma buat ambil tas yang dititipin di hostel doang. Abis ambil tas, kami dadah-dadah ke Luluk. Dia bawain takoyaki, tapi kami cuma bisa cobain satu doang hiks. Dan dia seneng banget kami kasih Indomie goreng, karena katanya Indomie di sana beda sama Indomie Indonesia. Huhu. Kami berpisah jalan di Stasiun Asakusabashi. Dia ke JR, kami ke Tokyo Metro.

Saat itu, kami bawa tiga tas karena belum repacking. Sambil nunggu kereta dateng, yang sekitar 10 menit lagi, kami repacking di peron wkwk. Doamat dah, sumimasen minna-san. Abis repacking, kami jadi bawa dua tas lagi. Yeay.

Tujuan kami selanjutnya (di jam 10 malam, saat badan sudah remuque redamz) adalah Futamatagawa, Yokohama, tempat om gue tinggal. Tadinya kami janjian sama tante gue buat ketemu di Yodobashi Camera Yokohama jam 7. Apa daya jam 7 baru nyebur onsen haha. Jadi kami ke stasiun terdekat dari tempat tinggalnya aja. Kereta meninggalkan Tokyo dan kami masuk ke Keikyu Line. Sekitar setengah jam, kami sampai di Stasiun Yokohama.

Wow, ternyata stasiunnya rame banget kayak Stasiun Shinjuku. Kami mengikuti papan petunjuk menuju peron Sotetsu Line. Setelah ketemu, naik kereta express menuju Stasiun Futamatagawa. Kereta pun berjalan meninggalkan Stasiun Yokohama. Kami gak duduk waktu itu, jadi cukup capek juga haha. Setelah 15 menit, kami aaaaakhirnya sampai di stasiun terakhir hari itu. Hahhhh… bye, Tokyo. Terus gue hubungin om dan tante gue kalo kami udah sampe. Mereka bilang tunggu, bakal dijemput. Beklah!

Sebagai background info, om gue orang Indonesia, tapi kerja di Yokohama. Istrinya orang Jepang. Mereka tinggal di Yokohama. Yaa hitung-hitung silaturahim sambil numpang tinggal haha. Om Imam masih sering ke Indonesia, jadi masih hapal orangnya kayak gimana. Nah, si Tante Satoko ini yang gue bener-bener gak tau kayak gimana. Terakhir ketemu pas pemakaman Mbah gue tahun 2004. Itu juga gue gak interaksi langsung ama beliau. Jadi, bener-bener gak ada bayangan samsek.

Pas kami nunggu, tiba-tiba om gue dateng di peron wkwk. Salaman, kenalin Fia, lalu kami bertiga jalan keluar stasiun. Waktu itu udah jam setengah dua belasssss wkwkwk. Setelah jalan lumayan jauh, kami sampai di mobil yang terparkir di pinggir jalan. Di sana udah ada tante gue yang sudah menunggu. Oke, untuk kemudahan membaca, mari panggil saja mereka Om Imam dan Tante Satoko. Masukin tas dan barang, lalu kami masuk mobil. Mobil lalu berjalan meninggalkan stasiun.
“Hhhh… yokatta!” ujar Tante Satoko sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi depan.
“Maaf ya, lama ya nunggunya?”
Dia gak respon. Hmm apakah dia kzl? :”)
“We’re afraid you can’t catch the last train.” Ooo, I got the cue. Speak English to ease our conversation. She speaks English well! Gue cukup takjub juga. Clear and fluent English.

Dan ternyata kereta terakhir adalah jam 12, yakni kalo-kalo kita telat setengah jam :”)
“Udah makan belum?” Om Imam bertanya.
Sebenernya jam 12 kurang itu, lapar kami udah hilang haha. Lebih pengen tidur sebenernya.
“Udah.”
“Kapan?”
“Tadi siang.”
“BELUM MAKAN MALAM?” mereka terkedjoed wgwg. Mobil yang udah menuju kediaman, putar balik dan berhenti di Famima 24 jam. What a weird sight. Two girls with hijab, a woman, and a man browsing through bento section when the date was about to change.

Tante Satoko rekomendasiin makanan yang enak. Abis kami pilih, dia ambil salad dan kue. Wow. Makan malam tengah malam. Pas sampe rumah, kami langsung disuruh duduk di ruangan bertatami, istirahat bentar, dan Tante Satoko dateng membawa bento yang sudah dipanaskan :") 

Setelah itu kami diantar ke kamar. Wow kami tidur di futon dengan berlapis-lapis selimut hahaha. Abis itu mandi air hangat, dan bobok. Capeeekk~~~~

Last but not least, pesan moralnya adalah:
Kalau hiking di negara empat musim, disesuaikan waktu berangkatnya. Kalau hiking di musim panas, ya bisalah berangkat agak siangan karena matahari terbenam lebih lama. Selain musim panas, gue sarankan buat berangkat pagi dan turun siang karena matahari lebih cepat terbenam. Jangan lupa juga makan dan bawa perbekalan yang cukup, terutama air!

BIAYA

JR Asakusabashi to Mitake
1080
Tsuru-Tsuru Onsen
820
Bus Tsuru-Tsuru Onsen to JR Musashi Itsukaichi
400
JR Musashi Itsukaichi to Asakusabashi
918
Kereta Asakusabashi to Futamatagawa
719

Comments

Popular Posts